Baca Cerita Sebelumnya
Setelah gue menolak tawaran di PT.
MUGC bogor, gue coba masukin lamaran di beberapa website jasa Pencaker (Pencari
Kerja). Beberapa hari setelah itu gue dipanggil salah satu perusahaan pialang
bernama PT. MIV (nama tetap disamarkan
demi menjaga privasi dan yang penting biar gue gak dituntun #ralat ->
dituntut). Pas ditelepon gue ditanya-tanya dan gue juga bertanya-tanya
sedikit tapi gue malah diomelin.
"Saya
belum selesai bicara mas !" katanya.
Akhirnya gue terdiam melas
sambil ngedengerin apa yang dia omongin dan gue cuma bisa jawab iah, iah, dan
iah (karena gue orang sunda jadi pake h). Tapi terakhir gue jawab iah ternyata
dia malah marah karena dia sedang menyebutkan alamat lokasi perusahaan nya,
kemudian bertanya.
"Sudah dicatat belum alamatnya
? katanya dengan suara agak keras.
Dan gue jawab "Iah Bu".
"Apanya
yang iah?, Sudah dicatat belum ?!!" katanya lagi dan kali ini suaranya terdengar agak
kesal (mungkin emang kesal).
"Iah Bu, eh belum Bu, boleh
diulang alamatnya di mana ?" kata gue memohon dan sambil lari dari tempat
tidur dengan terbirit-birit mencari pulpen dan kertas.
Akhirnya gue menemukan potongan
kertas kecil bekas struk belanja kalau gak salah. Gue tulis di secarik kertas
tersebut alamatnya yaitu di Jl. Ayam duduk, Ayam Duduk Plaza, Menara BRI lantai
11 Jakarta-Barat (nama dan alamat tetap
disamarkan demi menjaga privasi dan yang penting biar gue gak dituntun #ralat
-> dituntut).
Besoknya gue berangkat kesana dengan
banyak bertanya ke orang-orang di sekitar jalan dan juga di dalam bis,
- Arah nya kemana?
- Naek bis apa jurusan apa?
- Ongkosnya berapa?
- Namanya siapa?
- Mau kemana?
- Bawa uang berapa?
- Dan lain sebagainya (karena
pertama kali ke jakarta barat, sendiri).
Setelah menempuh perjalanan lumayan
jauh dan berpanas-panasan di tengah kemacetan jakarta, akhirnya gue diturunin
di depan Ayam Duduk Plaza kata kondektur bisnya (walaupun masih bingung
gedungnya yang mana). Gue bertanya lagi sama orang di pinggir jalan tentang
alamat perusahaan yang gue tuju, dan ditunjukin gedungnya ada di seberang
jalan.
Gue berjalan mencari zebra cross
buat nyeberang tapi gak ketemu-ketemu akhirnya gue nyeberang lewat jembatan fly
over. Setelah gue berjalan ke atas gue sadar kalau di sana ternyata emang
gak ada zebra cross karena terlihat dari atas fly over, dan setelah
sampai di seberang jalan gue lebih sadar lagi karena gedung di seberang jalan
ini ternyata banyak dan gue malah kebingungan masuk gedung yang mana.
Setelah gue cek catetan yang gue
tulis kemaren pas ditelepon tertulis menara BRI lantai II, dan karena di salah
satu menara ada tulisan BRI akhirnya gue memutuskan buat masuk gedung itu.
Di dalam gedung, gue langsung naek
lift ke lantai II dan ternyata bener BRI, tapi anehnya gak ada satu orang pun
yang tau nama PT. MIV di lantai II tersebut. Akhirnya gue memutuskan buat
keluar gedung dan masuk ke gedung yang lain (siapa tau salah masuk gedung).
Dalam gedung itu gue malah ngerasa aneh karena semua sisi dan juga sudut
isinya ruangan yang disekat tapi semua tertutup rolling-door dan gue hanya
sendiri di sana. "Ini perkantoran
apa mall bangkrut" pikir gue.
Tapi untungnya di sana (dalam mall
bangkrut itu) gue mendapatkan sebuah alat yang sangat penting, berharga dan
berguna buat gue saat itu (minimal untuk hari itu). Karena dengan alat itu gue
bisa konfirmasi kebenaran alamat yang gue tulis. Alat apakah itu ? Ya, TELEPHONE COIN. Telepon Koin
sangat berharga buat gue waktu itu, disamping pulsa masih relatif mahal buat
gue saat itu dan juga karena kalau gue mencari wartel gue gak tau di
perkantoran jakarta yang mana yang masih ada wartel.
Dari telepon koin itu gue
menelepon bokap di rumah buat memastikan alamat yang gue tulis kemaren, karena
catetan yang gue bawa hari itu adalah salinan dari yang asli supaya tulisan gue
terlihat lebih rapih, minimal orang yang gue tanyain alamat bisa baca (yang
aslinya lebih jelek tulisannya karena gue buru-buru takut diomelin sama yang
nelepon gue waktu itu). Bokap akhirnya dengan terpaksa harus nyari itu kertas
kecil berisi alamat perusahaan tempat gue interview hari ini di kamar gue yang
sangat rapih, rapih banget banget.
Setelah beberapa menit gue telepon
lagi bokap dengan duit recehan yang ada di saku celana hasil dari kembalian
naek angkot dan gue malah diomelin bokap katanya disuruh beresin tuh kamar yang
lebih mirip kapal pecah (kalau sekarang mirip pesawat sukoi yang jatuh di Gn.
Salak) karena bokap udah susah payah menemukan kertas kecil itu di tengah
tumpukan buku-buku, baju, peralatan-peralatan menggambar dan kaligrafi gue, dan
barang-barang lain yang berantakan (mirip sama istilah “menemukan jarum di
tumpukan jerami”).
Alamat yang disebutin bokap udah gue
cocokin sama catetan yang gue bawa dan gue memutuskan lagi buat masuk gedung
yang pertama gue masukin dan bertanya ke receptionist. Tapi gue dapet kabar
duka dari receptionist itu, sampe bikin gue shock dan lemes ngedengernya.
“Disini
gak ada nama PT. MIV lantai II Pak” katanya.
Gue pengen
pingsan saat itu tapi gue sadar disana gak ada orang yang gue kenal, bahkan
kalaupun ada yang gue kenal juga gue rasa mereka gak bakal peduli kalau gue
pingsan. Akhirnya dengan pasrah gue keluar lagi dan duduk sejenak di
samping gedung (mall bangkrut) itu buat mikirin apa yang seharusnya gue lakukan
saat itu.
Gue berfikir
buat nelepon bokap lagi dan tanya apa yang harus gue lakuin, tapi setelah sampe
di dekat alat yang seharusnya berguna itu gue malah muncul ide buat nelepon ke
kantor yang kemaren nyuruh gue dateng ke tempat yang bener-bener asing buat gue
ini.
Gue buka
panggilan masuk di Handphone gue yang gaul, gue lupa typenya, tapi mirip
ericsson T-10 cuma HP ini ada game memancing dan menembak, gaul dan jadul itu
relatif (menurut gue) dan beda tipis (menurut gue juga).
Untungnya yang nelepon gue kemaren memakai telepon kantor dan nomernya lokal
(kalau dia telepon pake Handphone gue lebih baik pulang dari pada beli pulsa
disana).
Setelah gue telepon ke kantor dengan
rasa malu karena bunyi koinnya jelas terdengar setelah telepon diangkat oleh
orang kantor itu karena gue nelepon di telepon umum koin dalam gedung (mall
bangkrut lagi) yang sepi itu, kira-kira bunyinya pas di angkat sama dia “Kencring” dengan jelas. Untungnya dia
gak komentar itu suara apa walaupun gue yakin di dalam hati dia penasaran sama
bunyi tersebut.
Setelah bicara beberapa saat,
ternyata ada kesalah pahaman antara gue, bokap sama tulisan di kertas kecil
yang ilang di tumpukan jerami kamar gue. Yang harusnya terbaca di sana adalah
PT. MIV di Jl. Ayam Duduk, Ayam Duduk Plaza Menara BRI lantai 11 Jakarta-Barat
bukan PT. MIV lantai II/2/dua. Artinya bokap salah baca, dan tentunya gue
yang lebih salah, kenapa gue nulis dengan tulisan yang gak kebaca sama bokap
dan yang lebih parah gak bisa baca tulisan sendiri.
Persamaan dan perbedaan antara 11
dan II (2 romawi) pada tulisan gue memang sulit dibedakan karena 11 dan 2
romawi terlihat hampir sama. Gue kesel, tapi gue juga seneng akhirnya gue tau
kesalahan gue itu.
Perjuangan gue hari itu belum berakhir.
Setelah gue dapet pencerahan dari
telepon umum yang ternyata bener-bener berguna buat gue saat itu, untuk
kesekian kalinya gue memutuskan untuk masuk ke Menara BRI yang pertama gue
masukin tadi.
Dengan rasa percaya diri gue
langsung jalan ke depan lift untuk menuju ke lantai 11. Tapi pas gue mau pencet
tombol lift ke atas gue dipanggil satpam. Gue pikir dia mau minta tanda tangan
karena mengira gue artis, tapi ternyata gue dipanggil dan diminta untuk laporan
dulu ke receptionist dan memberikan KTP untuk di tukar dengan ID card
(visitor).
Setelah gue ditanya-tanya sama
receptionist dan ia membenarkan adanya PT tersebut di lantai 11 (ingat ! 11
bukan II) tetapi tetap gue salah penulisan. PT. MIF bukan PT. MIV.
"Pantesan aja pada bingung" pikir gue dalam hati.
Setelah semuanya itu selesai
dan gue mendapatkan Visitor ID Card, gue kembali menuju lift dan menekan tombol
atas. Tapi beberapa saat gue nunggu di depan lift tersebut, ada beberapa orang
menghampiri gue dan gue berfikir "Apa mereka juga mengira gue artis ? dan
berniat meminta foto dan tanda tangan gue". Tapi ternyata, mereka adalah
karyawan-karyawan di perkantoran itu yang juga sama kaya gue (nunggu lift ke
atas).
Setelah lift terbuka gue pencet
lantai 11. Gak tau karena gue yang norak entah grogi karena pertama kalinya masuk
gedung besar sendiri tanpa didampingi orang yang gue kenal tapi pas pintu lift
terbuka gue dengan PeDe nya langsung keluar dan bertanya kepada orang di lantai
itu tentang PT. MIF tapi mereka semua gak ada yang tau. Sekilas pikiran gue.
“Gue ditipu oleh interview ini dan
lebih baik gue pura-pura pingsan biar dianter pulang ke rumah atau mungkin gue
lagi dikerjain disalah satu acara TV”.
Tapi sebelum pingsan dan atau
melirik kanan kiri untuk mencari letak kamera, salah satu dari mereka bertanya.
“Emang bener PT nya ada di menara
BRI?, lantai berapa mas PT. MIF itu?”
Dan gue langsung jawab “Bener ko
mba, tadi di receptionist juga ada PT.MIF lantai 11”.
Mereka semua tertawa dan gue terdiam.
“Ada apa ini?, apa gue bener-bener
dikerjain? di mana kameranya? kok belum muncul juga? ” kata gue dalam hati.
Beberapa dari mereka dengan kompak
berkata.
“Ini lantai 6 mas”.
Mereka tertawa lagi dan gue
tertunduk malu dan langsung berbalik tanpa berkata sepatah katapun tapi dalam
hati gue tetap bilang “MAKASIH !!” dengan sinis tentunya, dan untuk kesekian
kalinya di hari itu gue merasa ingin pingsan.
Gue berjalan kembali menuju lift dan
memperhatikan dinding di sekitar lift ada tulisan angka “6”. Ternyata bener ini
lantai 6 dan gue berkata “Makasih”. Setelah gue dipermalukan oleh kesalahan gue
sendiri gue sampe di depan lift lagi dan kembali menunggu lift untuk
melanjutkan perjalanan ke atas (lantai 11).
Banyak banget pertanyaan dan
pernyataan yang muncul di otak gue saat itu.
-
Kenapa itu
tulisan gak muncul pas gue keluar dari lift tadi?
- Kenapa pas
pertama di lantai dua tadi gue gak perhatiin? Malah setelah gue dibikin malu
baru itu tulisan ada di depan mata gue.
-
Kenapa
tulisan gue bagus banget?
-
Kenapa gue
gak bisa bedain mana 11 dan mana II ?
-
Kenapa di
jalan tadi gak ada zebra cross ?
-
Kenapa
orang-orang itu menertawakan gue?
-
Kenapa
mereka gak bilang aja baik-baik biar hati gue lebih tenang?
-
Kenapa,
kenapa kenapaaaa ?
Udah kaya daftar pertanyaan buat
interview tersangka di polsek, tapi gak ada satupun yang menjawab. Untungnya
gue gak kenal sama mereka yang dengan santainya menertawakan orang yang sedang
terkena musibah kayak gue ini (nyasar di lantai 6), jadi gue gak terlalu peduli
malu depan orang yang gak gue kenal itu. Tapi bagaimana kalau gue diterima di
perusahaan ini dan gue ketemu setiap pagi sama orang-orang itu ?
"Ah,
gue bisa pake masker kalau perlu pake helm, biar mereka gak ada yang mengenali
gue" pikir gue bloon.
Setelah lift terbuka kemudian gue
pencet itu tombol lantai 11, gue perhatiin bagian atas lift ternyata ada angka
digital yang berubah tiap kali lantai berganti. Padahal gue tau dan juga
melihat pas pertama ke lantai dua. Sekali lagi gue bilang “Makasih” (dengan sinis lagi di dalam
hati).
Setelah tiba di lantai 11 gue tau
dari angka digital yang tertera di dalam lift dan juga memastikan di dinding
sekitar lift akhirnya gue yakin itu lantai 11.
***