Abis dengerin ceramah dari
seorang ustadz, gue jadi inget waktu pertama kali gue belajar ceramah di depan
puluhan orang, yaitu ketika gue SMP. Waktu itu gue inget membawakan sebuah
ceramah bertemakan “Salah satu perilaku Rasulullah SAW yang wajib di teladani”
atau lebih spesifik yaitu tentang janji.
|
Entah kenapa saat ini gue kepikiran tentang pentingnya
arti sebuah janji, mungkin karena gue juga terkadang tidak menepati janji
(bukan untuk ditiru), tapi hal itulah yang sebenarnya terganjal di hati, merasa
bersalah, dll. Walaupun sebenarnya dengan alasan yang jelas secara logika. Jadi
gue coba untuk menuliskan kembali apa yang pernah gue sampaikan waktu itu, dan
semoga bermanfaat.
Sebelumnya kita harus tahu, apa itu janji? Janji
merupakan sebuah perkataan dari suatu pihak ke pihak lainnya, yang mana
perkataan tersebut merupakan sebuah pemberian atau sebuah layanan yang berharga
bagi salah satu ataupun kedua belah pihak di waktu kemudian.
Banyak orang yang mengartikan janji adalah ikatan
seseorang terhadap lainnya yang di dalamnya terdapat kata “JANJI”. Misalnya :
“Oke kalau begitu JANJI ya, besok datang jam 8 malam
!”.
Tapi
sebenarnya tidak hanya itu, tanpa ada kata “JANJI” tersebut pun perjanjian
sudah dilakukan. Misalnya :
“Oke,
kalau begitu kita ketemuan besok. Jam 8 malem gue jemput di rumah ya ?”
Janji bisa
berupa perkataan lisan maupun tulisan sebagai kontrak perjanjian. Dengan bentuk
tertulis (kontrak), biasanya sebuah perjanjian akan lebih kuat dari segi hukum.
Akan tetapi hanya dengan lisan pun, janji tetaplah janji, yaitu sesuatu yang
harus di tepati.
Ada sebuah
ungkapan : “Al wa’du dainun”, yang artinya janji adalah hutang.
Dari
ungkapan tersebut bisa diambil kesimpulan betapa pentingnya arti sebuah janji
sehingga disetarakan dengan sebuah hutang. Karena hutang merupakan suatu hal
yang harus dibayar, bahkan sampai ketika seorang muslim wafat, ahli waris lah
yang wajib membayarnya. Maka begitulah dengan
janji.
Allah
berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 1:
…
Artinya : Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad (Perjanjian) itu …
Di ayat lain Allah berfirman
:
…
Artinya : … dan
penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti
diminta pertanggungan jawabnya.
Di ayat ini
di jelaskan bahwa setiap janji akan dimintai pertanggung jawaban (di hari akhir/kiamat),
oleh karena itu tepatilah janji.
Janji juga
bisa berupa sumpah ataupun jaminan. Dengan adanya sumpah seseorang akan lebih
mempercayai si pembuat janji. Misalnya dengan kalimat, demi Allah, ataupun
dengan 3 kalimat sumpah yaitu Wallahi, Billahi, Tallahi. Akan tetapi menjadikan
sumpah sebagai kebiasaan pun tidak boleh, karena perbuatan itu menunjukan
penghinaan atau ketidak hormatan. Allah berfirman dalam surat Al-Qalam ayat 10
:
Artinya : Dan
janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina.
Dan dalam
sebuah hadits yang shohih bahwa di antara 3 orang yang Allah tidak mengajak
bicara pada hari kiamat, tidak mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang
pedih yaitu : lelaki yang menjadikan Allah sebagai barang dagangannya, dia
tidak membeli kecuali dengan sumpahnya (bersumpah dengan nama Allah) dan tidak
menjual kecuali dengan sumpahnya.
Allah
berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 89 :
Artinya : Dan
jagalah sumpah-sumpah mu.
Dari firman
Allah SWT tersebut bisa disimpulkan bahwa diperbolehkan bersumpah, tapi jagalah
sumpah tersebut. Maksudnya jangan bersumpah kecuali ketika dibutuhkan serta
dalam kebaikan dan juga kejujuran.
Allah
berfirman dalam ayat lainnya :
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman,
kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? . Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan. ( QS. As-Shaf: 2-3).
Janji juga
bisa dijadikan salah satu faktor untuk menilai seseorang. Berdasar bagaimana ia menepati atau malah
mengingkarinya, meremehkannya, meninggalkannya tanpa suatu alasan yang rasional/jelas.
Karena banyak hadits yang menjelaskan bahwa orang yang tidak menepati janji
adalah salah satu ciri orang-orang munafik.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w.
bersabda:
"Tandanya
orang munafik itu ada tiga,yaitu:
jikalau ia berbicara berdusta, jikalau ia berjanji menyalahi
(mengingkari) dan jikalau ia dipercaya berkhianat." (Muttafaq 'alaih)
la menambahkannya dalam
riwayat Imam Muslim: "Sekalipun orang itu berpuasa dan bersembahyang dan mengaku bahwa dirinya
adalah seorang Muslim."
Hadits lainnya tentang itu : Dari Abdullah bin 'Amr
bin al-'Ash radhi allahu 'anhuma bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda:
"Ada empat perkara, barangsiapa yang empat
perkara itu semuanya ada di dalam dirinya, maka orang itu adalah seorang
munafik yang murni - yakni munafik yang sebenar-benarnya - dan barangsiapa yang
di dalam dirinya ada satu perkara dari
empat perkara tersebut, maka orang itu memiliki pula satu macam perkara dari kemunafikan sehingga ia meninggalkannya,
yaitu: jikalau dipercaya berkhianat, jikalau berbicara berdusta, jikalau
berjanji bercidera - yakni tidak menepati - dan
jikalau bertengkar maka ia berbuat kecurangan - yakni tidak melalui
jalan yang benar lagi." (Muttafaq 'alaih)
Lalu apa kemunafikan itu? Kemunafikan ialah menunjukkan
di luar sebagai seorang Muslim yang benar-benar keislaman dan keimanannya,
tetapi dalam hatinya adalah sebaliknya. Orang munafik itu hakikatnya ad alah
orang yang memusuhi Agama Islam, menghalang-halangi perkembangan dan kemajuan
Islam, tidak ridha dengan kepesatan dan keluhuran Islam dan dengan segala
daya-upaya hendak mematikan Agama Islam.
Itulah yang terkandung dalam hatinya yang
sebenar-benarnya. Hanya tampaknya saja ia sebagai pemeluk Islam yang setia.
Bagi Islam orang munafik itu adalah sebagai musuh dalam selimut. la menggunting
dalam lipatan atau menohok kawan seiring
dari belakang. Besar benar bahayanya kaum munafik itu terhadap Islam dan kaum Muslimin. Oleh sebab itu Allah
menjanjikan siksa yang pedih kepada kaum munafik itu dengan firmannya:
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu ada di dalam tingkat terbawah dari neraka."
Oleh sebab tidak seorangpun yang mengetahui isi hati
seseorang, maka oleh Rasulullah s.a.w. diuraikan tanda-tandanya kemunafikan, yaitu ada empat macam perkara.
Dijelaskan oleh beliau s.a.w. bahwa barangsiapa yang
memiliki empat macam perkara itu keseluruhannya, maka ia benar-benar dapat
digolongkan dalam kelompok kaum munafik yang tulen atau murni, bagaikan emas
kemunafikannya sudah 24 karat. Tetapi
apabila hanya satu perkara saja yang dimilikinya itu, maka ia telah dihinggapi satu macam penyakit
kemunafikan tersebut.
Adapun
empat perkara itu ialah:
1. Jikalau berbicara berdusta.
2. Jikalau berjanji tidak menepati.
3. Jikalau bertengkar atau bertentangan dengan
seseorang, lalu berbuat kejahatan.
4. Jikalau membuat sesuatu perjanjian lalu
merusakkan atau membatalkannya sendiri
yakni tidak mematuhi isi perjanjian itu dengan
sebaik-baiknya.
Dalam Hadis sebelumnya disebutkan bahwa salah satu sifat kemunafikan ialah:
Jikalau dipercaya lalu berkhianat. Penyakit kemunafikan itu tetap berjangkit dalam diri
seseorang selama sifat-sifat buruk di atas (l ima macam) tidak ditinggalkan,
sekalipun orang tersebut mengerjakan shalat, puasa serta mengaku bahwa dirinya
adalah manusia Muslim.
Jadi kemunafikan seseorang itu dianggap tinggi atau rendah, murni atau tidak, hal itu
tergantung kepada banyaknya sifat kemunafikan yang dimiliki olehnya. Jelasnya
kemunafikannya itu dapat 20%, 40%, 60%, 80% atau 100% yakni tulen dan murni.
Semoga kita semua dihindarkan dari sifat kemunafikan ini selama-lamanya.
Islam
mengajarkan agar setiap muslim menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak mulia.
Dan di antara akhlak mulia itu adalah menepati janji. Memelihara dan menepati
janji adalah salah satu dari sifat-sifat dan perilaku nabi dan rasul,
sebagaimana Allah berfirman tentang nabi Ismail, AS. :
Dan ceritakanlah (hai
Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran.
Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang
rasul dan nabi.
(QS. Maryam - 54) .
No comments:
Post a Comment
Silahkan berikan, komentar, kritik ataupun saran yang membangun :)
Terima Kasih